Loksado adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan. Di sana ada sebuah desa
bernama Malinau. Kira-kira satu kilometer dari tempat itu ada sebuah air
terjun bernama Mandin Tangkaramin. Konon, menurut Bahasa penduduk di
sana, mandin berarti air terjun. Jadi, Mandin Tangkaramin berarti air
terjun Tangkaramin. Akan tetapi, kata mandin sudah menyatu dengan
Tangkaramin sehingga kedua kata itu tak terpisahkan.
Air terjun itu. tidak terlalu tinggi, sekitar tiga belas meter. Hutan
lebat mengelilinginya sehingga jika berada di hutan itu terasa selalu
dalam dekapan gelap malam.
Di dasar air terjun Mandin Tangkaramin terdapat bongkahan-bongkahan batu
besar dan kecil. Di antaranya ada bongkah besar berwarna merah, semerah
kulit manggis yang ranum, bernama Manggu Masak.
Konon, air terjun itu punya kaitan dengan satu kejadian, yakni
perkelahian satu lawan satu antara Bujang Alai dengan Bujang Kuratauan.
Kedua pemuda itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Akibatnya, mereka
hidup dalam persaingan yang membuahkan dendam terpendam.
Bujang Alai adalah seorang pemuda tampan, angkuh, dan kaya. Ia selalu
menyisipkan keris di pinggangnya setiap pergi ke mana saja. Jimat pun
selilit pinggang. Karena merasa yakin akan kelebihannya, ia sering
bertindak sesuka hati. Ia selalu mempertontonkan keberaniannya di mana
saja, dengan harapan orang-orang tertarik kepadanya.
Berbeda sekali keadaannya dengan Bujang Kuratauan. Ia berpenampilan
sederhana dan tidak setampan Bujang Alai. Ia seorang pemuda yang rendah
hati dan penyabar. Selain itu, cara berpikir dan gagasannya menunjukkan
kejernihan otaknya. Ia bukan dari kalangan orang kaya. Akan tetapi, ia
punya sisi lain yang dapat diandalkan. Ia tidak berusaha menonjolkannya,
tetapi muncul sendiri karena diharapkan masyarakat. Musyawarah di desa
terasa belum lengkap tanpa kehadirannya. Sebuah keputusan dalam rapat
tidak akan diambil tanpa ia turut menganggukkan kepala.
Jika Bujang Alai menyelipkan keris dan jimat selilit pinggang untuk
menambah keangkuhannya, Bujang Kuratauan pun selalu membawa senjata
setiap bepergian. Parang bungkul, senjata tradisional orang Banjar,
selalu tersangkut di pinggangnya. Akan tetapi, senjata itu tidak akan
keluar dari sarungnya jika bukan untuk menegakkan kehormatan, kebenaran,
dan keadilan.
Pada suatu ketika, desa mereka gempar. Ada peristiwa yang dianggap
melanggar adat dan mencemarkan nama keluarga, serta mencorengkan arang
di muka anggota masyarakat. Seorang gadis hilang entah ke mana tanpa
diketahui sebabnya.
Bukan hanya orang tua gadis itu yang panik dan amat terpukul, Bujang
Kuratauan pun terusik perasaannya. Walaupun gadis itu bukan keluarganya
atau perempuan yang akan dijodohkan kepadanya, peristiwa itu dirasakan
sebagai tantangan terhadap dirinya. Ia diminta menunjukkan kemampuannya
untuk menemukan gadis itu. Oleh karena itu, Bujang Kuratauan bertekad
menyelidiki perkara ini sampai tuntas. Jauh di hati kecilnya muncul
kecurigaan bahwa Bujang Alai menculik gadis itu.
“Sekali ini pasti ia akan kena batunya,” ujar Bujang Kuratauan dalam hati.
Belum lagi usaha pengusutan mencapai titik terang, Bujang Alai tiba-tiba
menepuk dada. Ia berkata dengan lantang, “Di rumah saya ada seorang
gadis yang saya sembunyikan. Silakan jemput gadis itu, tetapi dengan
syarat orang itu mampu menahan ujung kerisku Iebih dulu!”
Jelaslah bahwa Bujang Alai menantang Bujang Kuratauan. Dahi Bujang
Kuratauan berkerut, daun telinga memerah, gigi gemeretuk, dan kilat mata
tajam melukiskan amarah. Tangan kanannya meraba hulu parang bungkulnya.
Ia berkata dengan suara datar, “Aku tak akan menjemput gadis itu ke
rumahmu, tetapi aku menuntut tanggung jawabmu sebagai lelaki!”
“Lelaki maksudmu? Keris ini membuktikan kelelakianku! Tentukan tempat
dan waktunya!” ujar Bujang Alai sambil meraba keris di pinggang.
“Musuh tidak kucari, tetapi jika bersua pantang kuelakkan,” sahut Bujang
Kuratauan. Ia, berusaha meredam kemarahannya yang memuncak dengan suara
tertelan, “Jika kerismu mau menjual darah, parang bungkul tumpul ini
mampu membelinya!”
Sudah dapat diduga apa yang akan terjadi antara Bujang Kuratauan dan Bujang Alai. Perang tanding, itulah yang akan terjadi.
Keris Nagarunting milik Bujang Alai ditarik dari sarungnya,
diacungkannya ke atas, dan diliuk-liukkannya ke udara dengan sombong.
Bujang Kuratauan tidak ingin kalah aksi melihat atraksi yang dipamerkan
Bujang Alai. Parang bungkulnya yang tajam berkilat berkelebat membelah
udara, dipermainkannya dengan kecepatan tinggi.
Setelah mempertunjukkan kebolehan masing-masing, tanpa diduga Bujang
Alai dengan tangkas melompat sambil berusaha menyarangkan keris
Nagarunting ke dada Bujang Kuratauan. Akan tetapi, Bujang Kuratauan
sudah slap sehingga serangan mendadak itu tidak mengejutkannya. Dengan
gerakan enteng, ujung keris yang akan menembus jantung dapat
dielakkannya. Bahkan jika mau, pasti is sempat menebaskan parang
bungkulnya ke leher Bujang Alai. Akan tetapi, Bujang Kuratauan bukan
orang haus darah. Kesempatan emas itu tidak dimanfaatkannya. Sikap itu
ternyata membuat hati Bujang Alai semakin membara. Ia merasa dilecehkan.
“Gunakan senjatamu jika engkau merasa sebagai lelaki!” tantang Bujang Alai.
Bujang Kuratauan tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, tetapi tangannya
telah siap nlemegang hulu parang bungkul. Matanya nanap penuh selidik
menyiasati gelagat yang akan dilakukan Bujang Alai.
Nalurinya tidak salah. Bujang Alai menyerbu dengan membabi buta. Ia
menyarangkan kerisnya bertubi-tubi ke tubuh Bujang Kuratauan sehingga
Bujang Kuratauan susah mengelakkannya. Gemerincing keris beradu dengan
parang bungkul menimbulkan kilatan api di angkasa. Mereka memiliki
kehebatan dan kemampuan tempur yang tinggi. Akhirnya, Bujang Kuratauan
tidak hanya menangkis dan mengelak, tetapi ia juga menyerang dan
menebaskan parang bungkulnya.
Tebasannya berkali-kali mengenai bagian-bagian rawan tubuh Bujang Alai,
tetapi tidak segores pun melukai kulitnya. Demikian halnya Bujang
Kuratauan, berkali-kali ujung keris Bujang Alai tidak dapat
dielakkannya, tetapi sama sekali tidak mencederainya.
“Kita lanjutkan di tempat lain!” ujar Bujang Alai.
“Di mana pun aku setuju!” sahut Bujang Kuratauan.
“Mandin Tangkaramin pilihanku!” ujar Bujang Alai.
“Di sana pun aku setuju!” sahut Bujang Kuratauan.
Perang tanding ditunda sementara. Mereka sepakat, Mandin Tangkaramin
sebagai arena perkelahian berikutnya. Waktu luang menjelang saat
pertarungan berikut itu mereka gunakan untuk mempersiapkan diri agar
dapat mengalahkan lawan.
Setelah merenung dan menilai kehebatan Bujang Alai, Bujang Kuratauan
berkata dalam hati, “Ia kebal. Parang bungkul yang bagaimanapun tajamnya
tak akan melukai kulitnya.”
Jika Bujang Alai berusaha mempertajam keris Nagarunting, Bujang
Kuratauan justru membuat tumpul parang bungkulnya. Mata parangnya bukan
dipertajam, melainkan diasah sehingga tumpul seperti bagian belakangnya.
Dalam pertarungan di Mandin Tangkaramin, memang tidak seorang pun
terluka sebab keduanya kebal. Akan tetapi, parang bungkul Bujang
Kuratauan yang tumpul matanya itu membuat tubuh Bujang Alai memar atau
remuk di dalam. Akhirnya, Bujang Alai pun meninggal.
Tersiarlah berita tewasnya Bujang Alai di tangan Bujang Kuratauan.
Kematian Bujang Alai itu membuat suasana menjadi panas. Keluarga Bujang
Alai ingin menuntut balas sebab utang darah harus dibayar darah.
Pihak Bujang Kuratauan tidak tinggal diam. Mereka tidak menginginkan
jatuhnya korban. Siasat pun diatur sebaik-baiknya. Obor-obor dinyalakan
sehingga perhatian musuh terpancing dalam gelap gulita itu.
Pihak Bujang Alai mengejar obor-obor yang gemerlapan itu dengan
kemarahan meluap. Pihak Bujang Kuratauan menghindarkan diri agar jangan
terjadi bentrokan. Setelah sampai di puncak air terjun Mandin
Tangkaramin, obor-obor itu mereka lempar ke bawah.
Melihat nyala obor-obor itu pihak Bujang Alai menduga musuh menyimpang
jalan sambil berlari menyusuri lintasan. Mereka hanya berpatokan pada
nyala obor yang dilemparkan.
Kelompok Bujang Alai pun langsung memintas menuju obor. Jalan pintas
yang mereka perkirakan memang tidak ada, kecuali jurang menganga
sehingga mereka pun jatuh di atas bongkah batu. Darah mereka mengucur di
batu-batu dan menjadikan batu-batu merah warnanya, semerah kulit
manggis masak. Penduduk menyebutnya Batu Manggu Masak.