Menurut cerita Rawa Pening itu sebuah Legenda. Walau tak ada yang tahu
pasti, sejak kapan legenda itu muncul dan mengapa kawasan tersebut di
sebut Rawa pening, tetap saja masyarakat setempat mengaitkan telaga
dengan kemunculan sesosok ular besar yang dianggap keramat.Menurut
mereka, di saat-saat tertentu ular tersebut bergerak mengitari telaga
untuk memberi berkah bagi orang-orang yang membutuhkan. Mereka sangat
menghormati legenda tersebut, sampai-sampai sebuah ornamen dari beton
berbentuk ular besar pun di pasang di pintu masuk telaga ini. Begini
ceritanya : Rawa Pening ada sekitar 1000-2000 tahun yang lalu. Berada 45
km dari kota Semarang. Mata pencaharian penduduk di sana mayoritas
adalah Nelayan eceng gondok. Kedekatan masyarakat Rawa Pening dengan
rawa memunculkan mitos, bahwa terdapat ular besar yang menempati rawa
bernama Baru Klinting. Salah satu nelayan disana katanya pernah melihat
Baru Klinting, warnanya kekuning-kuningan, dan mempunyai panjang kurang
lebih 50 m. Dikepalanya ada tengger yang sama dengan tengger ayam jago.
Siapa sih Baru Klinting sebenarnya? Konon, hiduplah seorang bocah yang
karena kesaktiannya di kutuk seorang penyihir jahat. Akibatnya, bocah
itu memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam dan
amis. Luka itu tak pernah kering. Jika mulai kering, selalu saja muncul
luka-luka baru, disebabkan memar. Baru Klinting berubah menjadi seorang
anak kecil yang mempunyai luka disekujur tubuhnya, dan lukanya
menimbulkan bau amis. Baru Klinting berjalan-jalan di desa tersebut, dan
melihat anak-anak didesa itu sedang bermain. Muncullah keinginan
dihatinya untuk bergabung, namun anak-anak tersebut menolak kehadiran
Baru Klinting dan memaki-makinya dengan ejekan. Baru Klinting pun pergi.
Ditengah jalan, perutnya mulai lapar, dan Baru Klinting mendatangi
salah satu rumah dan meminta makan. Saat itu Baru Klinting pun kembali
di tolak bahkan di maki-maki. Desa tersebut adalah desa yang makmur,
namun penduduk di Desa itu sangatlah angkuh. Sampai suatu hari ada
seorang Janda tua (Nyai) yang baik dan mau menampung dan memberi makan
Baru Klinting. Setelah selesai makan, Baru Klinting berterimakasih
kepada Nyai, sambil berkata, “Nyai, kalau Nyai mendengar suara
kentongan, Nyai harus langsung naik ke perahu atau lisung ya?”, kemudian
Nyai tersebut menjawab “Iya”. Ketika Baru Klinting sedang di perjalanan
meninggalkan komunitas tersebut, Baru Klinting bertemu dengan anak-anak
yang sering menghinanya dan langsung mengusir Baru Klinting dengan
kata-kata kasar. Tak terima dengan perlakuan itu, ia pun langsung
menancapkan sebatang lidi yang kebetulan ada di sana. Lalu dengan wajah
berang ia pun bersumpah, bahwa tak ada seorang pun yang sanggup
mengangkat lidi ini, kecuali dirinya. Satu persatu mulai berusaha
mencabut lidi yang di tancapkan Baru Klinting, namun anak-anak tidak ada
yang bisa mencabutnya. Sampai akhirnya orang-orang dewasa yang berusaha
mencabut lidi tersebut. Namun hasilnya TETAP TIDAK BISA! Akhirnya Baru
Klinting sendiri yang menarik lidi tersebut, karena hanya dia yang bisa
mencabutnya (mengingat bahwa dia sakti). Saat itupun keluarlah air dari
tanah bekas lidi itu menancap, airnya sangat deras keluar dari tanah,
dan terjadilah banjir bandang di Desa Rawa Pening dan menewaskan seluruh
masyarakat di desa itu, kecuali Nyai. Setelah lidi tersebut lepas, Baru
Klinting langsung membunyikan kentongan untuk memperingati Nyai.
Akhirnya Nyai yang sedang menumbuk padi segera masuk ke lisung, dan
selamatlah dia. Nyai menceritakan kejadian ini kepada penduduk2 desa
tetangganya dan Baru Klinting kembali menjadi ular dan menjaga desa yang
telah menjadi rawa tersebut. Begitulah ceritanya. Saat ini Rawa Pening
bukanlah malapetaka, namun menjadi kemakmuran bagi masyarakat sekitar,
karena rawa tersebut bermanfaat bagi pertanian, budidaya ikan, dan eceng
gondok.
Judul : Legenda Rawa Pening
Deskripsi : Menurut cerita Rawa Pening itu sebuah Legenda. Walau tak ada yang tahu pasti, sejak kapan legenda itu muncul dan mengapa kawasan tersebut...