Alkisah pada masa lampau di kampung Nosar, Aceh Tengah, hiduplah
sepasang suami istri yang memiliki seorang anak gadis bernama Putri
Pukes. Karena sang gadis telah cukup umur, sepasang suami istri itu
sangat berharap agar ia segera berjodoh. Siang malam mereka memanjatkan
doa agar keinginan mereka segera terlaksana.
Tuhan mendengar
doa mereka. Tak berapa lama kemudian, datang sebuah keluarga yang
berasal dari Kampung Samar Kilang melamar Putri Pukes. Alangkah
bahagianya orang tua Putri Pukes. Setelah melakukan pembicaraan, kedua
keluarga sepakat untuk menikahkan anak anak mereka seminggu kemudian.
Kebahagiaan
orang tua Putri Pukes mewarnai hari hari dalam keluarga mereka. Aneka
persiapan dilakukan untuk menyambut hari pernikahan yang tak lama lagi.
Kesibukan membuat sepasang suami istri itu tak menyadari kesedihan yang
meliputi hati anak semata wayang mereka.
Meski telah dilamar
seorang pemuda tampan, tampaknya Putri Pukes belum siap untuk menikah.
Pernikahan yang membuatnya harus meninggalkan orang tua dan kampung
halamannya membuat ia bersedih hati. Namun apa daya, Putri Pukes tak
ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Ia memendam kesedihannya dalam
hati.
Tibalah saat yang dinanti nanti. Pesta pernikahan Putri
Pukes digelar sangat meriah. Banyak tamu yang datang untuk melihat
sepasang pengantin yang serasi itu. Senyum senantiasa menghiasi bibir
setiap orang yang ada disana. Agar kesedihannya tak nampak, Putri Pukes
berusaha tersenyum menyambut para tamu.
Setelah berlangsung
beberapa jam, usai sudah pesta pernikahan Putri Pukes. Sesuai adat
setempat, orang tua Putri Pukes membekalinya berbagai peralatan rumah
tangga untuk dibawanya ke rumah sang suami. Rombongan keluarga dari
Samar Kilang bersiap siap hendak kembali ke kampung mereka dengan
membawa serta seorang anggota keluarga baru.
Ibunda Putri
Pukes memberinya wejangan sebelum sang putri dilepasnya pergi. “Baik
baiklah kau dengan keluarga barumu, nak…”, kata sang bunda. “Patuhlah
pada suamimu dan hormatlah pada kedua mertuamu…”, tambahnya lagi. Putri
Pukes tak sanggup menahan kesedihannya lagi. Air matanya jatuh berderai.
Akhirnya ibu dan anak itu menangis sambil berpelukan.
Ketika
rombongan telah siap berangkat, sekali lagi ibunda Putri Pukes berpesan
pada anaknya. “Jika kau sudah berangkat nanti, janganlah kau menengok
ke belakang, nak…”, katanya berbisik di telinga Putri Pukes. Putri Pukes
hanya mengangguk. Ia tak sanggup berkata kata.
Rombongan
dari Samar Kilang meninggalkan rumah orang tua Putri Pukes ketika hari
menjelang sore. Tak disangka, hujan lebat datang mengguyur mereka di
tengah jalan. Sang suami segera membawa Putri Pukes untuk berteduh di
sebuah gua. Air mata yang mengalir di wajah Putri Pukes bercampur dengan
air hujan yang turun deras. Karena hatinya yang sangat sedih, Putri
Pukes mengabaikan pesan ibunya. Sebelum masuk gua, Putri Pukes menengok
ke belakang. Ia berharap dengan melihat kampungnya dari jauh
kesedihannya akan berkurang.
Melanggar pesan seorang ibu
ternyata membawa petaka bagi Putri Pukes. Segera saja setelah ia
menengok ke belakang, kilat menyambar tubuhnya berkali kali. Seketika
itu juga tubuh Putri Pukes berubah menjadi batu.
Hingga kini,
tubuh Putri Pukes yang diletakkan dalam sebuah gua masih ada. Gua yang
akhirnya terkenal sebagai Gua Putri Pukes itu terletak di Takengon, Aceh
tengah. Menurut penjaga gua, batu yang dipercaya sebagai jelmaan tubuh
Putri Pukes itu semakin membesar karena air mata sang putri yang kadang
kadang menetes berubah menjadi batu. Tak sedikit juga yang percaya, batu
itu menitikkan air mata jika orang yang mengunjunginya sedang bersedih
hati.
Judul : Legenda Putri Pukes
Deskripsi : Alkisah pada masa lampau di kampung Nosar, Aceh Tengah, hiduplah sepasang suami istri yang memiliki seorang anak gadis bernama Putri Puk...